Perlawanan terhadap rencana revisi PP Guru terus disuarakan oleh belbagai organisasi guru.
Sekitar seratus guru dari berbagai daerah dan beragam organisasi guru
melakukan aksi teaterikal sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana
pemerintah yang dinilai memaksakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No
74 tahun 2008 tentang Guru.
Penolakan puluhan organisasi guru di luar PGRI terhadap revisi PP ini
terutama terkait Pasal 44 ayat (3) mengenai persyaratan keanggotaan dan
kepengurusan organisasi profesi guru yang disamakan dengan persyaratan
pendirian partai politik. Aturan itu membuat organisasi yang dapat
memenuhi syarat tersebut hanyalah PGRI.
"Pemerintah kami duga kuat hendak menunggalkan kembali organisasi guru
seperti di era Orde Baru. Ini merupakan pembunuhan terhadap
organisasi-organisasi guru yang baru tumbuh," jelas Guntur Ismail,
Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada aksi di depan
kantor Kemenkum dan HAM, Jakarta, Rabu (11/12).
Guntur menambahkan, disinyalir ini beralasan politis untuk kepentingan
2014. Selain itu, Indonesia yang sudah berubah alam demokrasinya
tampaknya tidak dihiraukan sehingga pemaksaan revisi PP No 74/2008
berpotensi membungkam para guru kritis melalui pembatasan kebebasannya
dalam berorganisasi.
Aksi damai para guru di Kemenhumham dilakukan dengan menggelar aksi
teaterikal dan menggotong keranda mayat yang melambangkan matinya
demokrasi khususnya kebebasan berorganisasi guru.
Sekjen Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Suparman mengatakan saat
ini pemerintah melalui Kementerian pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) sedang merevisi Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2008
tentang Guru.
Suparman menjelaskan, empat organisasi Guru berskala Nasional, yaitu
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Persatuan Guru Seluruh Indonesia
(PGSI), Federasi Guru independen Indonesia (FGII), dan Ikatan Guru
Indonesia (IGI) selama hampir setahun ini berjuang menolak revisi
Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2008 tentang guru, khususnya Pasal 44
ayat (3) karena berpotensi kuat melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya
kebebasan berserikat atau berorganisasi bagi guru.
Selain itu, Perubahan Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 itu,
khususnya Pasal 44 tidak sesuai dengan yang diatur dalam UU 12 Tahun
2011 jo UU 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan
Undangan, dimana pembuatan PP harus diamanatkan oleh UU.
Sementara UU No 14 tahun 2005 pada Pasal 41 sampai 44 terkait organisasi
guru sama sekali tidak mengamanatkan pengaturannya dalam Peraturan
Pemerintah, demikian penjelasan Muhamad Isnur, Kepala Bidang Penanganan
Kasus LBH Jakarta yang selama ini kerap mendampingi para guru tersebut.
Menurut Isnur, berkaitan dengan Undang-Undang No 10/2004 jo UU No
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan maka setiap
pembentukan peraturan perundangan harus mengikuti proses harmonisasi di
Kemenkum dan HAM, dalam hal ini wewenang Dirjen Peraturan Perundangan.
“Selama setahun ini, Kami sudah melakukan dialog dengan pihak
Kemendikbud namun tidak mendapatkan respon dengan baik. Kami mendengar
kabar bahwa draft peraturan pemerintah pada Desember 2013 ini akan
dikirim ke Kemenkum dan HAM untuk harmonisasi,” jelas Iwan Hermawan,
Sekjen FGII.
Namun Dirjen Peraturan Perundangan (PP) Kemenkum dan HAM Wahiduddin Adam
mengaku belum menerima draf revisi PP Guru tersebut. Ha itu diungkapkan
Wahiduddin saat menerima perwakilan guru, menyatakan siap menampung
usulan terkait penolakan revisi PP Guru tersebut.
Selasa, 31 Desember 2013
Seminar PGSI ( Persatuan Guru Seluruh Indonesia ). Bupati : Tidak ada Segmentasi dan Marginaliasasi
Pemerintah Daerah
Kabupaten tidak akan melakukan marginmalisasi dan segmentasi terhadap
keberadaan dan kelangsungan guru-guru Swasta. Karena dalam pelaksanakan
kebijakan di Daerah pada umumnya mengacu padapayung hukum serta alokasi
anggran yang ada. Jika ada regulasi yang mengatur dan anggaran
memungkinkan kenapa tidak !. Bupati Jepara menegaskan hal tersebut
dihadapan para peserta seminar nasional PGSI ( Persatuan Guru Seluruh
Indonesia ) di Pendopo kabupaten Jepara. Dimana seminar yang bertajuk
"Kebijakan Pemerintah terhadap Eksistensi Pendidikan dan Pendidikan
Swasta" ini dihadiri saekitar 500 peserta perwakilan segenap Guru Swasta
se kabupaten. Sementara tampil sebagai nara sumber Drs. Ahmad Sholeh
dariPGSI Pusat, Umam Sabroni PGSI Jateng sekalugus calon DPD, ketua
Komisi C DPRD, Kepala Disdikpora serta Kepala kemenag Kabupaten Jepara.
(29/08 2013).
Ahmad
Marzuqi SE, secara khusus juga mengingatkan karena keterbatasan
kemampuan anggaran memamg baru sedemikian kemampuannya. Mari kita terima
dengan iklah dan legowo. Janganlah dipandang segala sesuatu dari
kulitnya saja tetapi harus diimbangi dengan kenyataan yang lain. Dimana
menurutnya penjajahan saat ini masih meneyelimuti kita. Sehingga yang
muncul hanyalah adalah kebanggaan melakukan hal-hal yang negatif atau
mudlorod. Justru yang melihatnya ini malah merasa malu sendiri. Dalam
hal inilah sangat diharapkan kejuangan dan perjuangan pendidik yang
tergabung dalam PGSI dapat mengangkat harkat dan martabat jati diri
anak-anak didik sebagai generasi penerus bangsa. Ngono ya Ngono nanging
ajo Ngono, artinya bolehlah para pendidik yang tegabung dalam Guru
Swasta ini menuntut perbaikan nasib dan hak tetapi kewajiban uatama
mencerdaskan kehidupan bangsa janganlah dilupakan. Bagiamanpun secara
pribadi, Pihkanya sangat merasakan karena sebelum menjadi Bupati, Ahmad
marzuqi adalah seorang guru Mardasah hasyim Asyari Bangsri. Segala
sesuatu jika kita terima dengan iklash akan menjadi berkah dan lestari
sepanujang waktu, tegasnya!.

Sementara
ketua PGSI Pusat, Drs. Ahmad Sholeh menyatakan bahwa kegiatan seminar
ini merupakan road show dan di Jepara adalah kabupaten /Kota yang 4.PGSI
yang merup[akan menivestasi dari kebangkitan para guru swasta
sebenarnya sudah ada sejak jaman perjuangan. Sejak jaman reformasi ini
lebih diintensifkan untuk bangkit ketasa maupun ke bawah melalui
pergerakan yang tergabung dalam PGSI. Dimana anggotanya terdiri dari
seluruh guru swata murni maupun guru swasta yang bekerja di sekolah
negeri. Tujuannya hanyalah satu yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang
merupakan kewajiban bersaamabaik negeri maupun swasta. Dengan plan
meningkatkan pendidikan nasional dan Mengembalikan jatidiri bangsa yang
berkarakter merah putih, pancasilais dan religius.
Secara
khusus Dra. Sri wahyuningsih, ketua PGSI kabupaten Jepara berharap
pemerintah kedepan dapat memperhatikan standarisdasi penggajian
Guru-Guru Swasta. Hal ini penting agar tidak terjadi kecemburuan antara
guru negeri dan swasta yang terjadi selama ini. Pihaknya juga berharap
adanya data base yang tepat dari pejabat yang berwenang baik dari
Dikpora maupun Kemenag sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada kerancuan
dalam berbagai kepentingan. Sebagaimana terjadi dalam pemberiaan hibah
tahunan kepada guru swata ayang setiap tahunnay terjadi kenacuan
pebedaan data. Dimana berdasarkan data tahun 2013 di pihaknya tercatat
13.160 guru swasta ayang ada di jepara, termasuk didalamnya 1.350 guru
swasta PAUD. ( Humas/SB).
Minggu, 29 Desember 2013
KABAR GEMBIRA BAGI GURU SWASTA
Kabar Gembira Untuk Guru Swasta Atau Guru Honorer
Terdapat
4 macam jaminan yang ditentukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) yaitu JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), TASPEN (Dana
Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri), ASABRI (Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia), dan ASKES (Asuransi Kesehatan
Indonesia).
Berbeda dengan TASPEN, ASABRI dan ASKES yang diperuntukkan kepada Pegawai Negeri Sipil, JAMSOSTEK adalah program jaminan sosial berdasarkan funded social security, didanai oleh peserta dan terbatas pada para masyarakat pekerja di sektor formal yaitu karyawan-karyawan perusahaan swasta, namun tidak termasuk di dalamnya pekerja-pekerja sektor informal seperti wiraswasta dan industri rumah tangga. Dalam meningkatkan jumlah kepesertaannya, PT. JAMSOSTEK terus melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan tentang beberapa undang-undang terkait tenaga kerja, misalnya UU jaminan sosial dan tenaga kerja, UU kesehatan, dan UU ketenagakerjaan serta mempromosikan program-programnya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP) dan program renovasi rumah. Sosialisasi ini penting mengingat masih rendahnya kesadaran masyarakat pekerja atas haknya sebagai peserta JAMSOSTEK.
Berbeda dengan TASPEN, ASABRI dan ASKES yang diperuntukkan kepada Pegawai Negeri Sipil, JAMSOSTEK adalah program jaminan sosial berdasarkan funded social security, didanai oleh peserta dan terbatas pada para masyarakat pekerja di sektor formal yaitu karyawan-karyawan perusahaan swasta, namun tidak termasuk di dalamnya pekerja-pekerja sektor informal seperti wiraswasta dan industri rumah tangga. Dalam meningkatkan jumlah kepesertaannya, PT. JAMSOSTEK terus melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan tentang beberapa undang-undang terkait tenaga kerja, misalnya UU jaminan sosial dan tenaga kerja, UU kesehatan, dan UU ketenagakerjaan serta mempromosikan program-programnya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP) dan program renovasi rumah. Sosialisasi ini penting mengingat masih rendahnya kesadaran masyarakat pekerja atas haknya sebagai peserta JAMSOSTEK.
Sebagai wujud peran serta dalam upaya pencerdasan bangsa, PT JAMSOSTEK
(Persero) menyelenggarakan program Dana Peningkatan Kesejahteraan
Peserta (DPKP) dalam bidang pendidikan. Konkretnya, DPKP ini berupa
pemberian beasiswa prestasi bagi anak tenaga kerja peserta Jamsostek
dalam jangka waktu 12 bulan, dengan rincian Tingkat SD -SLTP Rp
150.000,-/ bulan dan Tingkat SLTA – Perguruan tinggi sebesar Rp
200.000,-/ bulan. Akumulasi penyaluran dana beasiswa anak pekerja
JAMSOSTEK dari tahun 2006 – 2010 telah mencapai Rp. 96,505 miliar kepada
132,825 anak di 121 Kantor Cabang JAMSOSTEK. Tahun 2011 ini PT
JAMSOSTEK memecahkan rekor dunia dari Museum Rekor Indonesia dalam
penyerahan beasiswa senilai Rp29,4 miliar bagi 12.250 pelajar dan
mahasiswa anak dari peserta JAMSOSTEK.
Namun perlu diingat, masih ada pilar pendidikan yang belum menikmati jaminan sosial baik dari JAMSOSTEK maupun dari ketiga jaminan sosial lainnya, yaitu tenaga pendidik honorer dan tenaga pendidik swasta. Mereka tidak mendapatkan jaminan sosial karena tidak berstatus PNS dan tidak memiliki payung hukum yang jelas. Dalam Undang Undang (UU) nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan tunjangan kemaslahatan pemerintah baru disediakan untuk guru-guru PNS.
Saat ini pemerintah mengeluarkan tunjangan fungsional untuk guru swasta Rp.250.000/bulan, namun jumlah tersebut dirasa masih terlalu kecil. Menurut data yang ada di Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) saat ini jumlah tenaga pendidik swasta di Indonesia mencapai 700 ribu orang. Terjadinya penambahan guru ini cukup menggembirakan karena memperlancar proses belajar mengajar. Namun dikuatirkan jumlah yang besar ini ini akan berpengaruh pada program tunjangan guru swasta yang biasanya diberi pemerintah, dengan kata lain nilai tunjangan yang diterima guru berkurang dari biasanya karena jumlah pembaginya lebih besar. Oleh karena itu, apabila pemerintah belum menaikkan status mereka menjadi tenaga pendidik negara, selayaknya ada jaminan sosial bagi tenaga pendidik meliputi jaminan layanan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Kondisi lebih parah dialami oleh guru di perbatasan dan daerah karena sulitnya mendapat tunjangan. Ada 400 guru Kabupaten Nunukan (Kalimantan) yang bertugas di perbatasan RI-Malaysia dan hanya 8 orang di antaranya yang mendapatkan tunjangan. Di Pulau Marore, perbatasan RI-Filipina para guru perlu lebih dari 2 tahun menunggu tunjangan seperti yang dijanjikan pemerintah pada tahun 2009 lalu. Sementara sejumlah guru yang mengajar di Senaning, perbatasan Indonesia – Malaysia di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sempat melakukan aksi mogok mengajar karena tertundanya pembayaran tunjangan guru perbatasan tahun 2011. Kasus-kasus tersebut di atas menjadi ironis dengan niat pemerintah untuk memperkuat pendidikan di daerah perbatasan.
Tak jauh beda nasibnya, guru honorer di Indonesia belum berkesempatan mendapatkan tunjangan ataupun jaminan sosial. Bahkan besaran gajinya sangat variatif di tiap daerah, bahkan antara yayasan berbeda di daerah yang sama. Tidak semua guru honorer beruntung mendapatkan gaji sama atau diatas standar upah minimum. Meskipun pada tahun 2010 telah dilakukan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dan penghentian rekruitmen tenaga honorer, namun kenyataannya masih banyak tenaga honorer yang tersisa. Tahun 2011 jumlah tenaga honorer di Indonesia adalah 67ribu, diantara adalah guru. Menurut data Persatuan Guru Republik Indonesia pada 2011 jumlah guru honorer yang akan dinaikkan statusnya menjadi PNS mencapai 160.000 orang. Kemudian, pada 2012 jumlah guru honorer yang akan mengikuti seleksi CPNS mencapai 720.000 orang. Tampaknya gelar pahlawan tanpa tanda jasa semakin lekat pada guru-guru honorer.
Di mana posisi JAMSOSTEK dalam hal ini? Sebagai upaya mendukung kemajuan pendidikan nasional dan meningkatkan kecerdasan bangsa dengan memberikan dukungan langsung pada upaya peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan bagi tenaga pendidik dan keluarganya diharapkan langkah ke depan PT JAMSOSTEK dapat meningkatkan kepesertaan dari tenaga-tenaga pendidik non PNS. Untuk itu PT JAMSOSTEK akan banyak memerlukan penyesuaian terkait status guru swasta dan honorer yang masih abu-abu dan terkait besaran gaji dan honor yang sangat variatif. PT. JAMSOSTEK harus gencar melakukan sosialisasi program-program jaminan ke yayasan-yayasan pendidikan swasta maupun sekolah negeri yang masih mempekerjakan guru honorer serta melakukan “negosiasi” dengan menggandeng Pemerintah maupun Yayasan untuk menentukan bentuk program yang sesuai untuk tenaga pendidik swasta dan honorer, khususnya guru.
Namun perlu diingat, masih ada pilar pendidikan yang belum menikmati jaminan sosial baik dari JAMSOSTEK maupun dari ketiga jaminan sosial lainnya, yaitu tenaga pendidik honorer dan tenaga pendidik swasta. Mereka tidak mendapatkan jaminan sosial karena tidak berstatus PNS dan tidak memiliki payung hukum yang jelas. Dalam Undang Undang (UU) nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan tunjangan kemaslahatan pemerintah baru disediakan untuk guru-guru PNS.
Saat ini pemerintah mengeluarkan tunjangan fungsional untuk guru swasta Rp.250.000/bulan, namun jumlah tersebut dirasa masih terlalu kecil. Menurut data yang ada di Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) saat ini jumlah tenaga pendidik swasta di Indonesia mencapai 700 ribu orang. Terjadinya penambahan guru ini cukup menggembirakan karena memperlancar proses belajar mengajar. Namun dikuatirkan jumlah yang besar ini ini akan berpengaruh pada program tunjangan guru swasta yang biasanya diberi pemerintah, dengan kata lain nilai tunjangan yang diterima guru berkurang dari biasanya karena jumlah pembaginya lebih besar. Oleh karena itu, apabila pemerintah belum menaikkan status mereka menjadi tenaga pendidik negara, selayaknya ada jaminan sosial bagi tenaga pendidik meliputi jaminan layanan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Kondisi lebih parah dialami oleh guru di perbatasan dan daerah karena sulitnya mendapat tunjangan. Ada 400 guru Kabupaten Nunukan (Kalimantan) yang bertugas di perbatasan RI-Malaysia dan hanya 8 orang di antaranya yang mendapatkan tunjangan. Di Pulau Marore, perbatasan RI-Filipina para guru perlu lebih dari 2 tahun menunggu tunjangan seperti yang dijanjikan pemerintah pada tahun 2009 lalu. Sementara sejumlah guru yang mengajar di Senaning, perbatasan Indonesia – Malaysia di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sempat melakukan aksi mogok mengajar karena tertundanya pembayaran tunjangan guru perbatasan tahun 2011. Kasus-kasus tersebut di atas menjadi ironis dengan niat pemerintah untuk memperkuat pendidikan di daerah perbatasan.
Tak jauh beda nasibnya, guru honorer di Indonesia belum berkesempatan mendapatkan tunjangan ataupun jaminan sosial. Bahkan besaran gajinya sangat variatif di tiap daerah, bahkan antara yayasan berbeda di daerah yang sama. Tidak semua guru honorer beruntung mendapatkan gaji sama atau diatas standar upah minimum. Meskipun pada tahun 2010 telah dilakukan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dan penghentian rekruitmen tenaga honorer, namun kenyataannya masih banyak tenaga honorer yang tersisa. Tahun 2011 jumlah tenaga honorer di Indonesia adalah 67ribu, diantara adalah guru. Menurut data Persatuan Guru Republik Indonesia pada 2011 jumlah guru honorer yang akan dinaikkan statusnya menjadi PNS mencapai 160.000 orang. Kemudian, pada 2012 jumlah guru honorer yang akan mengikuti seleksi CPNS mencapai 720.000 orang. Tampaknya gelar pahlawan tanpa tanda jasa semakin lekat pada guru-guru honorer.
Di mana posisi JAMSOSTEK dalam hal ini? Sebagai upaya mendukung kemajuan pendidikan nasional dan meningkatkan kecerdasan bangsa dengan memberikan dukungan langsung pada upaya peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan bagi tenaga pendidik dan keluarganya diharapkan langkah ke depan PT JAMSOSTEK dapat meningkatkan kepesertaan dari tenaga-tenaga pendidik non PNS. Untuk itu PT JAMSOSTEK akan banyak memerlukan penyesuaian terkait status guru swasta dan honorer yang masih abu-abu dan terkait besaran gaji dan honor yang sangat variatif. PT. JAMSOSTEK harus gencar melakukan sosialisasi program-program jaminan ke yayasan-yayasan pendidikan swasta maupun sekolah negeri yang masih mempekerjakan guru honorer serta melakukan “negosiasi” dengan menggandeng Pemerintah maupun Yayasan untuk menentukan bentuk program yang sesuai untuk tenaga pendidik swasta dan honorer, khususnya guru.
Selasa, 24 Desember 2013
REKOMENDASI PGSI UNTUK PRESIDEN TENTANG GURU SWASTA
REKOMENDASI 1:
Masalah Beban Kerja Guru dan Masalah Kekurangan serta Distribusi
Guru di Daerah
1. Bahwa pasal 35 UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen
menyebutkan bahwa :
(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2) Beban
kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-
kurangnya 24 (dua
puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya
40 (empat puluh) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu.
2. Bahwa penghitungan beban kerja guru dengan
memperhitungkan sejumlah kegiatan pokok guru dengan keragamannya (persiapan,
evaluasidan tugas2 tambahan) sebagaimana
termuat dalam Permendiknas nomor 39/2009 jo Permendiknas nomor 30/2011 Pasal 5
adalah perhitungan beban kerja yang sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan DoseN
3. Bahwa penerapan penghitungan beban kerja berdasarkan
Peraturan Bersama 5 (Lima) Menteri (PBLM) yang melakukan perhitungan beban
kerja guru didasarkan hanya pada kegiatan pelaksanaan pembelajaran didalam
kelas yang mulai diberlakukan tahun 2012 adalah :
a. Tidak sesuai dengan Undang-Undang 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen karena hanya
menghitung beban kerja pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas saja, sedangkan
UU 14/2005 mengamanatkan bahwa beban kerja guru mencakup aspek perencanaan,
pelaksanaan (didalam kelas), menilai, membimbing dan melakukan tugas-tugas
tambahan. Dengan demikian beban kerja guru yang termuat didalam UU Guru yang
memiliki makna sangat menghargai profesionalisme guru telah diredusir sedemikian rupa dalam PBLM sehingga
hanya bermakna sebagai Jam Mengajar Guru semata. Padahal dalam UU Guru, Jam kegiatanMengajar Guru hanyalah salah satu bagian dari sejumlah
kegiatan profesional guru;
b. Tidak realistis karena standar isi yang mengatur beban
belajar peserta didik untuk setiap mata pelajaran tidak mendukung penerapan
sistem penghitungan beban kerja berdasarkan PBLM. Pemaksaan cara hitung beban
kerja seperti ini akan berdampak pada pembebanan yang berlebihan pada profesi
guru dan itu berarti merupakan hambatan bagi pengembangan profesionalisme guru;
c. Penghitungan beban kerja guru berdasarkan PBLM jika
dikaitkan dengan pengelolaan distribusi guru akan berdampak pada sistem
pembelajaran yang kacau balau dan tidak masuk akal karena menyebabkan banyak
guru akan mengajar pada lebih dari satu satuan pendidikan. Selain
menimbulkan sistem administrasi yang kacau, pembiayaan negara dan pembiayaan
pribadi guru makin membengkak, juga akan menyebabkan guru tidak fokus pada
pekerjaan profesinya.
d. Penghitungan beban kerja berdasarkan PBLM akan
berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran terhadap guru-guru
honorer dan semakin menyingkirkan peranan perguruan dan guru-guru swasta karena
setiap satuan pendidikan negeri akan selalu berusaha menambah jumlah rombongan
belajar untuk menutupi kekurangan jam mengajar, dan sejumlah guru PNS akan
memenuhi sekolah-sekolah swasta untuk menutupi kekurangan jam mengajarnya;
e. Penghitungan beban kerja berdasarkan PBLM bertentangan
dengan semangat
awal disusunnya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang secara
ideal ingin
menjadikan guru profesional dengan mengajar hanya pada satu satuan
pendidikan saja sehingga guru dapat fokus melakukan kegiatan
pembelajaran
dan dengan mudah mengenali dan memahami setiap peserta didik yang
menjadi tanggung jawabnya.
3. Bahwa dengan penerapan sistem perhitungan beban kerja
guru yang akan menimbulkan sejumlah persoalan dalam pengelolaan guru secara
nasional ditambah lagi sistem penghitungan ini bertentangan dengan UU Guru Dan
Dosen dan tidak konsisten dengan semangat penyusunan UU Guru dan Dosen. Olehkarenaitu: Kembalikan sistem perhitungan yang sesuai dengan
amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 dengan memberlakukan kembali sistem penghitungan
beban kerja sebagaimana yang termuat dalam pasal 5 Permendiknas Nomor 39/2009
jo Permendiknas Nomor 30/2011 dengan cara menghitung keragaman tugas-tugas
pokok profesi guru;
4. Bahwa penyelesaian pemenuhan kekurangan guru di
sejumlah daerah tidak dapat dilakukan dengan cara instan apalagi mengabaikan
peraturan perundangan yang berlaku serta mengabaikan realitas sosial budaya
yang berkembang dimasyarakat serta realitas sosial budaya para pendidik.
Langganan:
Postingan (Atom)